Asas Legalitas pada KUHP lama dan KUHP Baru (UU 1/2023 tentang KUHP)
Asas legalitas merupakan pilar fundamental dalam hukum pidana yang menyatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidana tanpa ada ketentuan hukum yang mengaturnya terlebih dahulu (nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege). Asas ini menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam penegakan hukum pidana. Dalam konteks Indonesia, asas legalitas mengalami perkembangan penting melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), yang diundangkan pada 2 Januari 2023 dan akan berlaku efektif mulai tahun 2026.
Asas Legalitas dalam KUHP Lama
Sumber Hukum Terbatas pada Undang-Undang Tertulis
KUHP lama mengadopsi asas legalitas secara ketat dan formal, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.”
Asas ini:
- Berbasis pada positivisme hukum (hukum tertulis sebagai satu-satunya sumber hukum pidana).
- Menolak hukum kebiasaan sebagai sumber pemidanaan.
- Menolak berlakunya hukum pidana yang berlaku surut (non-retroaktif), kecuali untuk kepentingan terdakwa (Pasal 1 ayat (2)).
Asas Legalitas dalam KUHP Baru (UU 1 Tahun 2023)
1. Pengakuan terhadap Sumber Hukum Lain Selain Undang-Undang
KUHP baru memperluas cakupan asas legalitas. Dalam Pasal 2 UU 1/2023, dinyatakan:
“Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pidana berlaku juga bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang patut dipidana.”
Ketentuan ini dikenal sebagai “living law” atau hukum yang hidup dalam masyarakat, dan menjadi sumber hukum pidana di samping hukum tertulis.
Artinya:
- KUHP baru mengakomodasi hukum pidana adat atau hukum tidak tertulis, selama memenuhi prinsip keadilan dan diakui masyarakat.
- Hal ini merupakan bentuk rekognisi terhadap pluralisme hukum di Indonesia.
2. Masih Mempertahankan Prinsip Non-Retroaktif
KUHP baru tetap mempertahankan prinsip non-retroaktif sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1):
“Tidak seorang pun dapat dipidana atau dikenai tindakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku surut.”
Namun, pengecualian berlaku untuk kepentingan terdakwa (Pasal 1 ayat (2)) — serupa dengan ketentuan dalam KUHP lama.
Tabel Perbandingan Asas Legalitas KUHP Lama dan KUHP Baru
|
Aspek |
KUHP Lama |
KUHP Baru (UU 1/2023) |
|
Asas Legalitas |
Ada, tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) |
Ada, tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) |
|
Sumber hukum pidana |
Hanya hukum tertulis |
Hukum tertulis dan hukum yang hidup di masyarakat |
|
Pengakuan terhadap hukum adat |
Tidak diakui sebagai dasar pemidanaan |
Diakui secara eksplisit (Pasal 2) |
|
Prinsip non-retroaktif |
Berlaku |
Berlaku |
|
Pengecualian untuk terdakwa |
Berlaku (Pasal 1 ayat (2)) |
Berlaku (Pasal 1 ayat (2)) |
Kritik dan Tantangan
Pengakuan terhadap hukum yang hidup di masyarakat menuai kritik karena:
- Berpotensi melanggar kepastian hukum, jika tidak didefinisikan secara jelas.
- Menyulitkan penegak hukum dalam menentukan tolok ukur perbuatan yang dianggap "melawan hukum adat".
- Berpotensi disalahgunakan, terutama dalam wilayah-wilayah yang belum memiliki hukum adat yang terdokumentasi.
Untuk menghindari kesewenang-wenangan, Pasal 2 ayat (2) UU 1/2023 mengatur bahwa penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat harus:
- Sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
- Tidak bertentangan dengan HAM.
- Ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah.
Penutup
Perubahan asas legalitas dalam KUHP baru mencerminkan pergeseran paradigma hukum pidana di Indonesia: dari sistem yang sepenuhnya positivistik menuju sistem yang lebih responsif terhadap realitas sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Meski demikian, perlu kehati-hatian dan regulasi pendukung agar pengakuan terhadap "hukum yang hidup dalam masyarakat" tidak menimbulkan ketidakpastian hukum atau penyalahgunaan wewenang.

0 Komentar