ASAS-ASAS EKSEKUSI PERKARA PERDATA

ASAS-ASAS EKSEKUSI PERKARA PERDATA

ASAS-ASAS EKSEKUSI PERKARA PERDATA

Pelaksanaan eksekusi dalam perkara perdata harus berpegang pada asas-asas berikut:

1.        Putusan yang dieksekusi harus berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde)
Eksekusi hanya dapat dilakukan terhadap putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, karena putusan tersebut memuat kepastian hubungan hukum, termasuk status kepemilikan objek sengketa. Putusan seperti ini memiliki kekuatan eksekutorial sehingga wajib dipatuhi dan dilaksanakan, bahkan dapat dipaksakan dengan bantuan aparat keamanan jika perlu.

Meski demikian, undang-undang memberikan pengecualian terhadap beberapa jenis eksekusi yang dapat dilakukan meskipun putusannya belum berkekuatan hukum tetap, yaitu:

  1. Eksekusi putusan serta-merta (Pasal 180 HIR / 191 RBG jo. SEMA No. 3 Tahun 2000 dan SEMA No. 4 Tahun 2001)
  2. Eksekusi putusan provisi (Pasal 180 ayat (1) HIR / Pasal 191 ayat (1) RBG jo. Pasal 54 dan 55 RV)
  3. Eksekusi Akta Perdamaian (Pasal 130 HIR / Pasal 154 RBG)
  4. Eksekusi Grosse Akta (Pasal 224 HIR / Pasal 258 RBG)
  5. Eksekusi Hak Tanggungan (UU No. 4 Tahun 1996) — bank atau kreditur pada dasarnya dapat mengeksekusi sendiri hak tanggungan, namun dapat meminta bantuan pengadilan, misalnya untuk pengosongan.
  6. Eksekusi Jaminan Fidusia (UU No. 42 Tahun 1999).

2.        Putusan harus bersifat menghukum (condemnatoir)

Putusan yang bersifat condemnatoir memuat perintah yang mengharuskan pihak yang kalah melakukan atau menghentikan suatu tindakan, misalnya:

  1. Membayar sejumlah uang
  2. Menyerahkan barang
  3. Mengosongkan atau menyerahkan sebidang tanah/rumah dalam keadaan kosong kepada penggugat
  4. Melaksanakan tindakan hukum tertentu
  5. Menghentikan suatu tindakan atau keadaan tertentu

Sebagian ahli hukum menilai kata “menghukum” dapat diganti atau dipadankan dengan “memerintahkan”. Di Pengadilan Agama, kata ini bahkan bisa diganti dengan “membebankan”, contohnya membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara. Yang terpenting, adanya perintah dalam amar putusan menunjukkan bahwa putusan tersebut memiliki kekuatan eksekutorial.

Sebaliknya, putusan yang hanya bersifat deklaratif (declatoir) atau konstitutif (constitutief) tidak dapat dieksekusi karena tidak memuat perintah yang dapat dipaksakan.

3.        Eksekusi dilakukan jika putusan tidak dijalankan secara sukarela

Upaya paksa melalui eksekusi baru dilakukan jika pihak yang kalah tidak mematuhi putusan secara sukarela. Hak untuk melakukan eksekusi baru muncul setelah lewat tenggat waktu peringatan (aanmaning) yang diberikan oleh pengadilan.

4.        Eksekusi dilaksanakan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan
Pasal 195 ayat (1)–(2) HIR dan Pasal 206 ayat (1)–(2) RBG menegaskan bahwa Ketua Pengadilan memiliki kewenangan mutlak untuk memerintahkan dan memimpin eksekusi. Jika objek sengketa berada di wilayah pengadilan lain, Ketua Pengadilan dapat mendelegasikan pelaksanaannya.

Perintah eksekusi harus berbentuk Surat Penetapan (beschikking), yang menjadi dasar hukum bagi panitera atau jurusita untuk bertindak. Ketua Pengadilan bertanggung jawab penuh atas kelancaran pelaksanaan eksekusi, memantau langsung di lapangan, serta memutuskan apakah eksekusi dilanjutkan, ditunda, atau dibatalkan. Penundaan hanya sah secara hukum jika diperintahkan secara tertulis oleh Ketua Pengadilan Tinggi/PTA atau Mahkamah Agung.

5.        Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan

Pelaksanaan eksekusi wajib mengikuti amar putusan secara persis tanpa penafsiran tambahan. Jika pelaksanaan menyimpang, pihak yang dieksekusi berhak menolak. Apabila pihak yang keberatan merasa pelaksanaan eksekusi merugikan, ia dapat menempuh upaya hukum melalui gugatan, termasuk gugatan pemulihan hak.

Berikan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan.

0 Komentar

Whatsapp